Sabtu, 04 Februari 2012

Inilah Jalan Hidup Kami bagian 1


Diambil dari
"Suplemen Petualang GEMA, 31 Oktober 1995, Kolom JEJAK"

Buat Herman O.Lantang, dunia petualangan bukanlah sesuatu yang baru.Ia sudah mengenalnya sejak masa kanak-kanak lewat cerita petualangan Tom Sawyer, Old Shutterhand, Karl May, sampai buku kepanduan Lord Baden Powell.

Herman mengaku cerita-cerita itulah yang menggugah dan sampai kini, tak terasa sudah 31 thn ia menggeluti hobbynya itu.Berikut wawancara penulis, Hery Luthfi (mantan ketua Mapala UI) dengan Herman O.Lantang di kediamannya di daerah Lenteng Agung, Pasar Minggu.

(Kawah Gunung Gede, 1977)


T: Bagaimana sampai anda terjun kedunia Pencinta Alam?

Kebetulan ketika saya masih kecil sangat mengandrungi cerita-cerita petualangan Balai Pustaka, seperti Tom Sawyer, Old Shutterhand, Karl May.

Pada waktu itu cerita-cerita petualangan sangat digemari terutama oleh anak-anak. Yah, mungkin kalau sekarang seperti Power Rangerlah. Cerita-cerita itulah yang menggugah minat saya untuk bertualang.

T: Selain itu?

Menurut saya kegiatan kepencinta alaman identik dengan kehidupan di Alam bebas. Di alam kita bisa menjadi apa adanya.Tidak perlu berbasa basi yang terlalu dipaksakan, tidak terikat dengan etiket pergaulan yang kaku dan tidak gengsi-gengsian. Pokoknya segala sesuatu yang tidak dipaksakanlah.

Saya sangat terkesan dengan cuplikan puisi yang ditulis oleh sahabat saya Soe Hok-gie tentang hal ini, yaitu:” . . . Kau terima aku dalam keberadaanku . . . ”.

T: Selain itu apakah faktor lingkungan seperti rumah atau kelompok ikut berperan?

Ketika saya masuk Fakultas Sastra UI pada 1960-an, saya berteman dengan Parsudi Suparlan, Ayat Rohaedy, Soe Hok-gie dan banyak lagi.

Pergaulan saya dengan mereka secara otomatis membentuk kami tidak menjadi sinyo-sinyo seperti kebanyakan anak-anak daerah Menteng pada waktu itu (tempat tinggalnya) tetapi saya lebih senang dengan kegiatan ke alam seperti berjalan kaki menyusuri sawah dan kegiatan semacam itu.

Dari situlah mulanya saya menggemari kegiatan yang bersifat kecinta alaman.Walaupun kegiatan ini sangat kontradiktif dengan kehidupan keseharian saya dirumah.

Kalau dirumah saya termasuk anak baik-baik yang sebelum tidur harus mengunakan piyama. Tetapi kalau diluar rumah saya lebih menyukai kehidupan dialam yang penuh dengan kesederhanaan. Semua ini juga karena terdorong oleh rasa keingintahuan saya terhadap sesuatu yang terdapat dialam, diluar rumah.

T: Pada waktu itu kegiatan apa saja yang dilakukan?

Banyak sekali sebagai contoh pada 1962 saya bersama dengan Parsudi melakukan kegiatan Survival dikawasan pantai Marunda yang masih sangat alami. Walaupun saat itu kami belum mengenal istilah Survival.

Satu pekan saya disana hanya berbekal beras dan perlengkapan yang sangat minim serta hanya mengandalkan makanan yang terdapat didaerah tsb seperti mengumpulkan kerang yang kemudian kami masak dengan kayu bakar(“drift wood”)

T: Lalu bagaimana perembangan kelompok itu selanjutnya?

Pada waktu itu kebetulan kami bertemu dengan kelompok Maulana, Ratnaesih (Sekarang dosen di FIB UI) dan dari situlah terbentuk Mapala Prajnaparamita (khusus Fakultas Sastra UI) pada 1964.

Pada waktu itu kegiatan kami hanya terbatas kepencinta alaman saja, belum mengarah ke pendakian gunung yang merupakan sesuatu yang sangat berbahaya.Pendakian gunung baru dimulai beberapa saat kemudian. Kemudian perkumpulan itu berkembang menjadi MAPALA UI tepatnya pada 1971, dan ketika itu saya terpilih menjadi Ketua Mapala yang sudah se-Universitas Indonesia.

Walaupun sebenarnya hal itu rintisan dari penggabungan beberapa Organisasi Pencinta Alam tingkat Fakultas seperti Impala Fakultas Psikologi UI, Track and Climbing (FKUI),CATACK- Climbing and Tracking (FE-UI) dan Yeksastufa (FT-UI) Perkumpulan itu ada juga setelah terjadi musibah hilangnya mahasiswa FKUI di Gn Pangrango. Dari beberapa rekan yang terlibat SAR pada waku itu, mereka berharap agar kekompakan yang sudah terbina dapat disatukan.

(foto; 1970, Herman membuat bivak pada SAR Willy & Arief, mahasiswa FKUI)



Tidak ada komentar: